Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku ; Politik tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi
__________________________
OKSON, LUWU TIMUR,- Sebuah perubahan memang tak cukup dengan semangat,, idealisme begitu penting untuk dijadikan instrument didalam meletupkan gagasan melalui mimbar-mimbar kebebasan. Di banyak negara Revolusi tercipta karena kebuntuan demokrasi dan otoritarian yang mendera.
Penindasan yang kemudian menjatuhkan Jenderal Suchinda di Taiwan, pergolakan juntah militer yang terjadi dihampir daratan Amerika Latin seperti Argentina yang di kenal dengan Imagining Argentina yang menewaskan warga Boanes Aires sekitar 30.000 orang dari tahun 1974-1978 setelah tertembaknya Presiden Jenderal Juan Peron, yang kemudian digantikan oleh istrinya Isabell Peron, Evo Morales di Bolovia, Agusto Finochet di Chili, dan Jenderal Fujimori di Peru. Dan belum lagi tertembaknya satu keluarga Presiden Panama, sebagai insiden keterlibatan CIA dab FBI di dalamnya.
Semua tragedi politik itu bermula karena (1). Menentang rezim yang otoritarian, yang cendrung menutup hak-hak kebebasan individu dan kelompok. (2). Ketidakadilan ekonomi dan sosial yang menyebabkan kesenjangan diantara masyarakat, termasuk penguasa dengan rakyat. (3). Intervensi politik asing yang memberi pengaruh terhadap kebijakan dalam negeri suatu negara. (4). Ketimpangan politik akibat demokrasi liberal yang diangkat dari Eropasentris. (5) ketidakjujuran pemerintah dalam proses pemilihan umum di dalam negaranya. Keadaan ini kemudian menjadikan terjadinya gejolak dan gesekan antar kekuatan civil society dengan kekuasaan yang anti demokratik.
Benar apa yang ditulis Samuel P. Huntington dalam “Gelombang Demokrasi Ketiga”, bahwa persoalan bangsa-bangsa kedepan adalah masuk pada liberalisasi politik, dimana demokrasi akan melanda semua kawasan dunia, bukan hanya negara maju, negara industri (industry nation), tetapi juga akan melanda negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang.
Eropasentrisme, sebagai jalan pembuka liberalisasi politik bergerak melalui Eropa, benua Fasifik, Asia, bahkan masuk di belahan negara Asia Tenggara. Gelombang demokrasi yang demikian hebatnya tidaklah sebanding dengan tingkat kemajuan masyarakat yang ada di belahan Asia Tenggara.
Di banyak kasus, seperti gejolak di Philipina yang terus berlangsung sejak kejatuhan Ferdinand Marcos hingga munculnya berbagai pemberontakan kelompok kiri Abu Sayaff sangat di ilhami oleh ketidakadilan dan diskriminasi oleh pemerintah Philipina.
Situasi ini tentu tak lepas dari bagaimana Indonesia sebagai nation state yang berada di kawasan Asia. Gejolak politik Indonesia bukan hanya terjadi saat ini, namun gejolak itu telah terjadi dari fase ke fase perjalanan bangsa ini. Orde Baru, yang dianggap sebagai “keterpenjaraan ideologi”, akibat kekuasaan yang despotic (penguasa tunggal), collaps di 21 mei 1998 yang dikenal dengan Gerakan Reformasi.
Benedict Andersson menyebutnya sebagai “Revolusi Kaum Muda”. Hal itu dapat dibenarkan mengingat gerakan reformasi 98 di pelopori anak-anak muda dari ruang kampus (mahasiswa). Rahim reformasi, adalah rahim peradaban kebebasan yang melahirkan kegoncangan sosial dan politik hingga harus menjatuhkan Rezim Orde Baru yang berkuasa kurang lebih 32 tahun lamanya.
Sejalan dengan itu, basis intelektual kampus tak cukup ber-eforia di jalanan atas tumbangnya rezim orde baru, akan tetapi basis kampus kembali merebut jantung pergerakan baik secara moral (moral forces), maupun (political forces). Maka sejalan dengan itu Forum Rektor pun lahir enam bulan setelah reformasi yakni tepatnya pada tanggal 7 November 1998 di Sasana Budaya Ganesha ITB Bandung. Dengan lima agenda perjuangan yang mengilhaminya.
Diantaranya adalah, (1), para Rektor akan selalu bersama dengan mahasiswa dalam gerakan reformasi murni sebagai kekuatan moral dan intelektual, dan akan membela mahasiswa yang tertindas dan terlanggar hak azasinya. (2), meminta ABRI memberikan perlindungan kepada para mahasiswa yang menjalankan perannya sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam menggerakkan reformasi yang murni dan berkesinambungan. (3), Pemilihan Umum (Pemilu), hendaknya dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, dan civitas akademika bersedia menjadi pemantau yang independen Dalam usaha membangkitkan kepercayaan masyarakat nasional dan internasional.
(4), perlunya independensi yudikatif terhadap eksekutif agar semua keputusan, peraturan yang bertentangan dengan semangat reformasi dihapus terutama hukum yang menjurus terhadap terjadinya KKN. (5), perlunya reformasi budaya yang diawali dengan reformasi pendidikan secara konfrehensif dan berkesinambungan demi melancarkan agenda reformasi yang menyeluruh.
Ruh inilah yang kemudian melahirkan Forum Rektor sebagai basis intelektual dan gerakan di bangsa ini. Kemunculan Forum Rektor bukan tanpa alasan, dari jejak sejarah. Ini satu momentum politik bagaimana kemudian “keterasingan” berubah menjadi “kebebasan”. Karenanya, di tahun politik ini, eksistensi Forum Rektor bukanlah sekadar ritual semata, walau kita tahu secara bersama senggama politik juga begitu marak dalam proses Pemilihan Rektor di kampus-kampus.
Apakah Forum Rektor akan menjadi instrument politik menjelang sukses kepemimpinan nasional di Pemilu 2024 ini? ataukah Forum Rektor ini akan tetap menjadi marwah intelektualisme yang bebas dan independen sebagai penjaga demokrasi dan peradaban.
Begitu banyak harapan yang dititipkan kepada forum ini, walau agenda kelahirannya begitu tidak sedikit yang telah dilanggar oleh kekuasaan politik di bangsa ini, termasuk hak-hak mahasiswa yang tertindas di kampusnya. Semoga pergulatan pemikiran di forum Rektor ini akan mengembalikan gagasan perubahan dibangsa ini, sebab kalau itu tak dilakukan maka forum ini juga telah menodai kesejarahannya, dan juga telah berkhianat terhadap reformasi.
Namun di saat menjelang rezim Jokowi berakhir muncul berbagai manuver yang dilakukannya termasuk dengan cawe-cawe, politisasi bansos, pernyataan kalau presiden bisa kampanye dan berpihak. Pembiaran pelanggaran konstitusi di tubuh MK dengan meloloskan anaknya sebagai cawapres.
Fenomena ini kemudian memunculkan berbagai aksi dan reaksi ditengah masyarakat. Keresahan sosial mulai mencuat dipermukaan setelah agenda-agenda politik pemilu dilaksanakan. Demo dimana-mana mengecam tindakan inkonstitusional MK belum lagi rusaknya marwah KPK dalam kasus pemerasan terhadap menteri pertanian SYL. Semua menjadi sengkarut dalam demokrasi Indonesia.
Tak berhenti sampai disitu, kemudian reaksi dari guru-guru besar dari berbagai kampus yang di mulai dari Petisi Bulaksumur UGM dan disusul berbagai kampus di Indonesia menyatakan sikap yang sama agar Jokowi berhenti cawe-cawe, dan menghentikan semua praktek kekuasaan yang menyimpang, kembalikan demokrasi kepada habitusnya. Reaksi ini sesungguhnya adalah kilas balik kelahiran forum rektor sebagai anak kandung reformasi yang kian mati suri dan semakin redup.
Forum Rektor sesungguhnya harus eling terhadap eksistensinya sebagai penyanggah peradaban demokrasi, yang tak sekedar tupoksi menara gading “menyala tapi tak membakar”. Di tahun 1999 pada Pemilu pertama pasca Reformasi, forum rektor mendapat tempat tertinggi diruang demokrasi dengan aktif terlibat sebagai pemantau pemilu dengan konsep KKN plus bagi mahasiswa (Kuliah Kerja Nyata plus juga sebagai pemantau Pemilu). Artinya bahwa posisi kampus bukan hanya sebatas sosial kontrol, tetapi mereka juga sebagai pelaku dalam demokrasi sekalipun keterlibatan untuk memantau proses politik agar tidak terjadi kecurangan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini terkesan posisi kampus termarginalkan sebagai kelompok yang ter-oposisikan. Jangan-jangan (tanpa menuduh) para rektor sudah menjadi bagian kaki tangan kekuasaan, bisa jadi !! dengan mempertimbangkan pada aspek pemilihan rektor yang tidak lagi ditentukan hasil keputusan rapat senat perguruan tinggi. Tetapi proses penentuan rektor dipengaruhi keputusan politik penguasa dengan 30 persen suara pemerintah dalam penentuan posisi rektor.
Secara logika, bahwa keputusan pemerintah terhadap posisi rektor adalah keputusan “suka atau tidak suka”, “nurut atau tidak nurut”, secara kritis ; ini sesungguhnya sudah melanggar statuta perguruan tinggi sebagai kitab dasar pengelolaan perguruan tinggi. Dari sinilah bermula bagaimana forum rektor lenyap dalam ruang-ruang publik apatah lagi dalam ruang demokrasi. Ironis.
Oleh sebab itu, tidak berfungsinya forum rektor adalah bagian terbesar dalam kecelakaan sejarah dan intelektualisme—peradaban ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
( OKSON/***)