MAHASISWA ; JALANAN ADALAH PERJUANGAN
Oleh : Dr. Saifuddin
Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
Direktur Eksekutif Centrum Arete Institute
Penulis Buku Politik Tanpa Identitas dan buku Obituari Demokrasi
___________________
OKSON, LUWU TIMUR,– Sebagai pembuka dalam tulisan ini seorang bijak pernah bilang ; kalau mau dikenang sejarah maka perkayalah dirimu dengan tragedi-tragedi dalam hidupmu, pesan ini pernah di ucapkan oleh seorang tokoh budaya Sulawesi Selatan yang biasa kami panggil kak Alwy Rahman (Alumni HMI, dosen Unhas dan aktif di Forum Dosen Indonesia).
Kalimat ini diucapkan beliau saat lounching salah satu buku yang berjudul “Kalimat Yang Tak Berpihak”. Pesan itu tertuju kepada gerakan mahasiswa yang terus diamatinya sebagai fenomena gerakan civil society.
Bahwa mahasiswa adalah generasi yang tak pernah mati ketika kampus berfungsi utuh untuk melahirkan watak keilmuan dan perubahan, sebab kampus adalah corong suara kebenaran di perdengarkan. Matinya kampus adalah juga matinya kebenaran—tuturnya diakhir diskusi.
Nah, terlepas dari itu sebagai sosok yang juga pernah aktiv di jalanan menyuarakan aspirasi mahasiswa dan masyarakat di era 1997 krisis moneter yang kemudian berlanjut pada krisis kepemimpinan yang berujung Reformasi 1998. Peristiwa ini sesungguhnya menjadi sesuatu yang absurd bisa terjadi dengan otoritarianisme orde baru yang berkuasa 32 tahun lamanya.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa itu mustahil terjadi. Tetapi dengan kekuatan yang satu, frame yang satu, keinginan yang satu dengan menghilangkan skat-skat ideologi dan ikatan primordialisme—maka kegamangan segelintir orang terjawab dengan jatuhnya orde baru ke orde reformasi.
Fenomena seperti itu begitu nampak disemua sudut-sudut kota dengan jubelan jas almamater dari kelompok mahasiswa—yang kemudian mendorong lahirnya Forum Rektor sebagai bagian penting dari terwujudnya agenda reformasi, walau hingga saat ini Forum Rektor kian redup di balik kekuasaan.
Sehingga wajar kiranya mahasiswa dipenuhi aroma kegelisahan atas bangsanya yang kian goncang dengan berbagai kasus yang ada. Polisi tembak polisi dengan tewasnya Joshua Hutabarat, nyanyian merdu Mahfud MD terkait transaksi mencurigakan 390 Triliun, yang kemudian menyeret petugas pajak Rafael Alun yang kemudian tersangka di KPK. Dan belum lagi UU Ciptakerja yang dianggap sebagai keberanian anggota DPR RI untuk memutuskan sebagai produk undang-undang—sebagai bentuk mengamini kaum oligarkis di luar kekuasaan. Menurut saya ini bisa disebut sebagai “Obituari Demokrasi” yakni pengumuman kematian demokrasi.
Indonesia memang mengalami penurunan indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir ini, hal ini membuktikan lemahnya kontrol politik dan maraknya pencederaan atas nama demokrasi. Kita hidup di negara demokrasi tetapi praktek tak demokratis. Tersulutnya perbedaan menjadi sebab menurunnya indeks kemanusiaan sebagai suatu bangsa.
Fenomena ini sesungguhnya yang perlu direspon oleh kelompok civil society sebagai bagian kontrol politik. Membaca tesis Robert Dahl ; 1997 tentang the political system disebutkan bahwa sebuah sistem politik harus dapat di kontrol melalui kekuatan the pressure group untuk mengamati dan mengawasi jalannya sistem dan tata kelolah produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintah atau rezim.
Berdasarkan hal tersebut Samuel P Huntington dalam bukunya “Demokratisasi Gelombang Ketiga” mengatakan bahwa suatu negara disebut sebagai negara demokrasi apabila empat pilar menjadi kontrol politiknya, antara lain ; parlement, media, NGO dan Civil society. Empat pilar ini sesungguhnya harus menjadi penyanggah demokrasi. Kelompok civil society yang berbasis kampus dengan penguatan akademik, paling tidak harus menjadi daya dorong yang kuat untuk melakukan kontrol politik. Sebab kampus di didirikan atas empat sokoguru salah satu diantaranya adalah mimbar akademik.
Mimbar akademik dipersonifikasikan sebagai ekspresi kebebasan bagi kaum mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi atas ketidakadilan. Mahasiswa adalah kaum tengah yang biasa kita kenal dengan sebutan middle class (Kelas menengah) dalam negara demokrasi memiliki posisi yang sangat strategis untuk mengontrol jalannya kekuasaan.
Dalam praktek demokrasi, tidak semua warga negara harus masuk di parlemen, akan tetapi ekstra parlemen juga sangat dibutuhkan sebagai kelompok penyeimbang. Negara-negara demokrasi di Eropa memiliki kekuatan ekstar parlemen yang kuat sebagai penopang jalannya sistem pemerintahan. Dan di beberapa negara jatuhnya rezim sangat di pengaruhi kekuatan civil society.
Dan saya kira Indonesia sejak periode 1974 sejak di berlakukannya NKK/BKK sebagai politik kekuasaan untuk memberangus kehidupan akademik yang dilakoni oleh kelompok mahasiswa berhasil “membelenggu mahasiswa” di dalam kampus dengan motto “Kuliah yes, politik no”. Stigmatisasi ini yang kemudian mematikan peran-peran mahasiswa sebagai kekuatan civil society hingga memasuki tahun 1978 kemudian para aktvis kampus mulai berteriak dengan suara lantang “Kembalikan kampus kepada kami”, substansi teriakan tersebut lebih pada kegelapan sejarah bahwa saat di berlakukannya NKK/BKK kampus mengalami stagnasi, kehidupan kampus mengalami kesunyian kritis dari penghuninya yang disebut kamu intelektual.
Kondisi demikian hampir terjadi disetiap masa pemerintahan yang berkuasa. Orde baru dengan pengaruh militer begitu kuat untuk melakukan tekanan pada kelompok pressure group.
Walau pada akhirnya okupasi pada kekuasaan militeristik selama 32 tahun akhirnya juga jatuh di tahun 1998. Dua puluh lima tahun yang lalu (reformasi) yang kemudian berganti kepemimpinan sipil pada akhirnya juga tidak dapat memberikan pengaruh kuat bangkitnya kekuatan politik sipil atas militer namun justru di kendalikan dengan kekuatan pemodal (oligarkis) yang meremot kekuasaan dari luar panggung.
Undang-undang ciptakerja patut “tertuduh” sebagai produk “tangan setan oligarkdis” yang memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan ekonomi-politiknya. Saya beranggapan bahwa ini seperti anak kandung PWC (Post Washington Consensus) yang dikendalikan oleh oligarkhis dengan kekuatan yang besar untuk menguasai sumber-sumber aday alam di negara ini.
Dengan melihat kondisi demikian, maka mahasiswa memilih jalannya untuk melanjutkan tradisi intelektual dengan basis mimbar akademik sebagai ruang ekspresi kebebasan terhadap ketidakadilan, ketidak-sewenangan—bahkan di saat parlemen tak bersuara maka ekstra parlemen menjadi solusinya.
Demokrasi memang harus di bayar dengan mahal—sebab mahasiswa kerap berhadapan dengan moncong senjata disaat dalil-dalil intelektual menampar wajah penguasa.
Oleh sebab itu, ketika suara mahasiswa masih terdengar itu berarti kebenaran masih ada.
” Jangan kembali pulang sebelum kemenangan di raih” senandung ini sering dilantunkan para mahasiswa dijalanan—sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.
( OKSON/***)