Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan
________________________
OKSON,LUWU TIMUR,- Sepertinya pendewasaan dalam politik tidak diametrikal dengan kesadaran kita sebagai manusia yang berfikir. Setidaknya politik memberikan pengajaran kepada manusia bagaimana hidup dengan damai dengan aturan yang baik dan dipatuhi sebagai konsekuensi dari kehidupan manusia.
Plato memberikan ilustrasi bahwa politik adalah sebuah puncak kebahagiaan tertinggi yang disebutnya sebagai “Eudemonisme”. Artinya bila politik dipahami sebagai suatu kebahagiaan (hope) maka sudah bisa dipastikan tak akan ada kebencian, dendam, hasut apalagi makar dalam negara.
Makar dalam negara tentu sangat melanggar undang-undang, tetapi disatu sisi undang-undang juga menjamin hak dan kebebasan dalam berpendapat.
Pasca Pemilu 2019 yang lalu—sentimen terus berlanjut walau kemudian oposisi pada akhirnya melebur dalam kekuasaan. Tetapi bukan berarti sentimentil itu juga berakhir. Kebebasan berekspresi juga demikian kencang baik itu dimedia sosial maupun diruang-ruang diskusi seperti ILC dan beberapa podcast (Akbar Faisal, Abraham Samad, Bocor Alus) belum lagi di media televisi. Perdebatan antar tokoh, pengamat, akademisi, mahasiswa, politisi menjadi rona-rona dalam demokrasi.
Rocky Gerung misalnya yang identik dengan penyematan terhadap lawan debatnya dengan kata “dungu” seringkali mengundang debat panas. Dan tidak heran kalau kemudian beberapa kali laporan yang dilayangkan atas pernyataan Rocky Gerung terhadap Jokowi dan kekuasaan yang ada. Maka pihak istana pun bereaksi sikap-sikap yang dilayangkan kepada presiden. Ibarat istana mengirimkan pesan “kalau presiden tidak boleh di kritik”.
Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) TNI Moeldoko menyebut langkah kepolisian menindak sejumlah orang yang patut diduga telah menghasut, menebar kebencian, hingga mengancam Presiden sebagai risiko yang harus mereka terima. Dalam kehidupan berdemokrasi setiap warga negara punya hak dan kewajiban, tapi juga patut menjunjung tinggi aturan hukum dan norma-norma yang ada agar tidak menjadi anarkis.
“Negara memiliki aturan sehingga tak semestinya ngomong sembarangan,” kata Moeldoko dalam Blak-blakan yang tayang di detikcom, Senin (20/5).
Mantan Panglima TNI itu juga mengingatkan agar tidak ada upaya manipulasi seolah bersikap dan bertindak demokratis tapi sesungguhnya mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, kebebasan berpendapat tetap harus dalam koridor hukum yang ada.
“Jangan menggunakan jubah demokrasi akhirnya orang melakukan semaunya, semena-mena, justru mengganggu orang lain. Ini bukan demokrasi,” kata pria kelahiran Kediri, Jawa Timur, 8 Juli 1957.
Kecenderungan sekarang yang terjadi itu, dia melanjutkan, berbuat sesuatu seenaknya. Tapi setelah ditangkap polisi baru mengaku khilaf dan minta maaf. “Ini apa-apaan?,” tegas Moeldoko.
Ia merujuk kasus Hermawan Susanto, pria yang berunjuk rasa di depan kantor Bawaslu menyatakan diri ingin memenggal Presiden Jokowi. Terhadap orang semacam itu, Moeldoko tegas mengatakan hukum tetap harus ditegakkan meski yang bersangkutan sudah meminta maaf.
Selain Hermawan Susanto, polisi sudah menahan aktivis Eggy Sudjana. Politisi Partai Amanat Nasional itu diketahui pernah berpidato yang mengarah kepada ajakan maka, polisi juga menangkap Lieus Sungkharisma terkait sangkaan makar.
Dalam perspektif semiotik, kadang kebebasan berekspresi yang berlebihan itu seperti sarkas itu dianggap makar. Padahal dalam menyampaikan pendapat bisa melalui musik, puisi, prosa, demonstrasi, demagogis, bahkan satire.
Tetapi cara pandang negara yang berlebihan mungkin saja itu sebuah pelanggaran.
Kemudian bagaimana “Politik Makar” dalam MK yang meloloskan batas umur cawapres, dan bagi MKMK yang telah menjatuhkan kalau ketua MK telah melanggar kode etik.
Karena itu putusan politik maka tetap dibiarkan, dan bahkan detik-detik terakhir KPU pun dianggap melanggar etik. Dua lembaga ini sesungguhnya adalah manifestasi dari power of law (kekuatan hukum) yang pada kesimpulannya menjatuhkan marwah hukum di titik terendah dalam demokrasi.
Dengan demikian, jubah-jubah demokrasi itu haruslah ditanggalkan—sebagai konsekuensi dari kecacatan etika dan moral ditubuh demokrasi. Bukan hanya soal itu, tetapi faksi agamapun di seret kedalam “ruang gelap demokrasi”, sehingga tak terlihat mana yang haq dan mana yang bathil.
Ini bisa disebut sebagai “anomali”, kenapa?, beberapa tahun belakangan ini kita di cercah dengan penolakan politik identitas. Tetapi dalam kontekstasi politik tahun 2024 justru tanpa disadari “agama telah diseret” masuk kedalam panggung-panggung politik.
Jubah-jubah demokrasi pun berseleweran diruang publik. Memanfaatkan pengaruh agama dalam meraih dukungan politik, apakah ini bukan politik identitas?, di sinilah anomalinya.
Dengan melihat kekuatan dan pengaruh agama memang sewajarnya semua kontestan termasuk dalam pilpres 2024 memanfaatkan itu sebagai basis massa yang ideologis. Kelompok agama pun terbelah karena pilihan politik yang berbeda. Kata KH. Mustofa Bisri ; ada ulama yang hampir jadi wali, tetapi kemudian menjadi tim sukses. Kalimat ini tentu di alamatkan kepada ulama tertentu tanpa harus menyebut nama.
Merespon hal tersebut bagi saya dalam perspektif yang lain, yaitu kesadaran politik kita semakin tinggi, namun kesadaran ber-agama kita masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan kelompok agama yang justru saling “menghasut”, mempraktekkan politik uang (dengan bagi-bagi uang), dan saling menyerang satu sama lain. Artinya agama sebagai “addinu naseha” agama sebagai nasehat tak lagi berfungsi.
Kekhawatiran kita adalah kalau politik hanya memanfaatkan agama demi pencapaian tujuan. Sebab secara harfiah, politik dan agama memiliki tujuan yang berbeda. Agama tentu bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat, sementara politik hanya berorientasi pada kepentingan dunia yang sifatnya sesaat.
Dalam pengertian yang sempit ; ulama boleh saja bekerja salah, tetapi tidak boleh berbohong. Tetapi politisi boleh berbohong tapi kerja jangan salah.
( SON/***)