Oleh : Saifuddin
Pengasuh Republik Society
Penulis Buku Politik Tanpa Identitas
Penulis buku Obituari demokrasi
Penulis buku Elegi kekuasaan
_________________
OKSON, LUWU TIMUR,- Sejarah demokrasi pun bukan tidak menyisakan berbagai isu dan bahkan korban dalam kehidupan politik kekuasaan. Simulasi demi sumulasi dilakukan untuk menemukan sistem apa yang cocok bagi politik Indonesia. Dan hal itu telah terurai panjang dalam sejarah politik Indonesia dari fase ke fase. Dan ini terus berlangsung hingga saat . Dari demokrasi pancasila, demokrasi terpimpin hingga masuk pada demokrasi yang serba terbuka setelah pasca 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Despotisme politik lalu kemudian muncul di tengah panggung demokrasi.
Fase-fase pemilu bukannya mengangkat indeks demokrasi, tetapi justru menurunkan derajat demokrasi.
Dan ditengah situasi seperti itu muncullah berbagai isme dalam ruang publik yang kemudian memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial dan politik. Hingga pada akhirnya ada kesan rasa frustasi bagi kita setelah melewati fase-fase itu tanpa adanya perubahan yang berarti.
Change without change (perubahan tanpa perubahan). Sehingga memaksa kita untuk memilih jalan alternatif bagi kehidupan demokrasi di Indonesia setelah semuanya di coba namun tak memberikan efek positif. Mungkinkah kita harus memilih alternatif lain seperti demokrasi deliberatif?.
Dan apa itu demokrasi deliberatif?. Demokrasi deliberatif adalah model demokrasi yang legitimitasi hukumnya diperoleh dari diskursus yang terjadi dalam dinamika masyarakat sipil, agar partisipasi masyarakat dalam membentuk aspirasi dapat dihargai secara setara.
Di Indonesia, kesadaran akan pluralisme sangatlah penting. “Masyarakat itu plural atau majemuk dan sangat beragam dari berbagai aspek sehingga akan terjadi persoalan yang menimbulkan ketimpangan baik dalam bentuk diskriminasi minoritas, prejudice- prejudice atau pembatasan hak-hak politik”.
Mencermati dari distingsi pemikiran ‘Habermas’, bahwa di dalam komunitas-komunitas dan identitas-identitas kolektif terdapat perbedaan pandangan, persepsi tentang kebaikan dan kebudayaan, cara hidup, dan seterusnya yang sangat plural. “Untuk mengatasinya, harus dibangun dan dikelola melalui sebuah sistem politik yang bisa mengakomodir seluruh perbedaan tersebut”.
Soal ini juga telah disampaikan oleh studi yang masih bersifat konsep dan belum riset lapangan terkait demokrasi deliberatif, dan juga telah di gagas oleh tim peneliti kelompok Penelitian Penguatan Demokrasi dengan judul: Relasi Kesetaraan Identitas antar Kelompok Identitas untuk Kesatuan dan Persatuan. “Titik petanya sebenarnya ada pada kesetaraan identitas”.
Memperjelas konsep dari studi tersebut, menurut pakar Ilmu Filsafat Indonesia, Dr. Fransisco Budi Hardiman menjelaskan pemikiran kritis, bahwa teori itu model hasil pikiran.
Observasi kita di lapangan ketika kita melaksanakan penelitian tidak theory free (bebas dari teori), melainkan apa yang kita lihat di lapangan, erat hubungannya dengan konstruksi berpikir kita untuk mengamati. Kegunaan teori menurut Hardiman dibagi menjadi dua yaitu teori untuk membimbing pengamatan kita di lapangan, dan teori lebih bermain pada tataran normatif ‘Habermas’, dimana kegunaannya juga untuk membimbing praktisi supaya lebih mengarah pada sesuatu yang ideal.
Hardiman pun mengatakan, “Suatu bangsa yang berhasil di dalam masyarakat itu mempunyai pemikir-pemikir didalamnya, bukan hanya peneliti, pengamat, dan pelaku, agar bisa melihat sesuatu dari kejauhan bagaimana strukturnya, tendensinya, akar-akarnya bagaimana, semua dilihat dalam sebuah olah gambaran yang lebih holistis”, tuturnya.
Terkait konsep model demokrasi deliberatif yang di gagas tim peneliti LIPI, Hardiman menyampaikan pandangannya bahwa, model deliberatif di Indonesia sudah ada yaitu sistem politik yang demokratis dengan menerapkan ‘Trias Politik’: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. “Sebenarnya deliberasi demokrasi itu pada prinsipnya sangat sederhana, hanya harus ditambah satu yaitu ruang publik”, tegasnya.
Penjabaran secara sederhana itu dilakukan dengan: (1) Praktik-praktik yang sudah berjalan agar lebih diradikalkan (2) Institusi-institusi demokratis diperbanyak, kanal-kanal komunikasi di dalam sistem politik sumbatan-sumbatannya dihilangkan. (3) Institusi intermedia yang memperkuat masyarakat sipil diperbanyak, untuk membentengi kekuatan masyarakat sipil dan kalangan pers. “Itu semua sudah ada, kalau perlu ada amandemen konstitusi yang menjamin distribusi hak-hak komunikatif publik secara adil. Kita sudah punya semua itu, hanya perlu diradikalkan”, tegas Hardiman.
Merangkum dari pandangan tersebut, pakar Filsafat Indonesia ini mengatakan demokrasi deliberatif di Indonesia belum cocok. “Indonesia memang sedang mengupayakan diri untuk cocok dan ini merupakan tuntutan yang berlebihan. Kenyataannya, Indonesia sudah mau mendekati cocok”, sebutnya. Lebih rinci disarankan agar Indonesia mendekati ke arah demokrasi liberatif, diusulkan cara: (1) Perbanyak prestasi deliberasi publik dalam masyarakat; ( 2) Pemilu berintegrasi untuk legislasi berintegrasi; ( 3). Legislasi publik pro deliberasi publik.
Tantangan untuk menjadi demokrasi deliberatif tidaklah mudah dengan adanya berbagai perbedaan yang kadang memunculkan antipati terhadap penguatan demokrasi dengan cara mengesampingkan soal-soal yang sensitif dalam politik kalau itu dianggap berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi seperti agama, suku dan ras. Padahal di beberapa negara maju pun seperti Amerika juga isu rasis kadang di munculkan dalam kampanye pemilihan presiden. Dan isu tersebut tidak membuat adanya friksi yang tajam dan berlebihan dibanding dengan negara-negara yang berkembang termasuk Indonesia.
Politik Indonesia dalam sejarahnya pun memiliki ritual yang panjang dan melelahkan, ini di jelaskan dalam politik Indonesia dengan kekuatan kelompok Islam di wakili Masyumi di parlemen, PNI yang mewakili kelompok nasionalis, dan PKI yang mewakili kelompok komunis. Perang ideologi untuk mengambil peran dalam kekuasaan bukan tidak mudah, tetapi membangun trust jauh lebih penting. Walaupun pada fase tertentu PKI melakukan peran antagonis dalam kekuasaan dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal saat itu.
Sektarianisme politik ini sebagai akar sejarah tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menghilangkan dari konteks politik Indonesia.
Tetapi paling tidak jejak sejarah itu memungkinkan bagi kita untuk membaca ulang—bahwa konsolidasi demokrasi sepantasnya harus di bangun untuk membangun sekaligus menemukan esensi kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia, tidak lalu harus terbelah karena sentimentil yang berlebihan.
Dalam teori sosial disebutkan bahwa fragmentasi dari subkultur sosial masyarakat termasuk di dalamnya agama, suku dan ras adalah modal terbesar dalam membangun suatu peradaban modern. Agama harus menjadi patronase didalam rangka membangun keadaban, sikap, intergritas, ahlak agar semua proses kehidupan manusia berjalan sesuai dengan fitrahnya.
Fitrahnya sebagai manusia yang mampu membangun hubungan komunal dan sosial dengan manusia lainnya. Begitu pula suku dan ras adalah identitas yang melekat akibat faktor lingkungan dan kesepakatan diantara masyarakat setempat terhadap pola-pola kehidupan yang mereka pilih. Sekalipun identitas agama, suku dan ras adalah pembeda dari yang lain, tetapi dalam politik Indonesia seringkali di derek untuk menjadi spionase bahkan menjadi entry point dukung-mendukung, sehingga terjadilah polarisasi diantara yang punya kepentingan.
Ego sektoral dalam politik sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah, mengingat beberapa peristiwa politik di beberapa daerah sebut saja ; di mana mayoritas non muslim, maka mereka pun akan memilih yang se-agama dengan mereka. Begitu pula sebaliknya. Artinya apa?, bahwa simbol agama sebagai identitas yang melekat pada diri mereka (sekalipun itu keyakinan), akan berpotensi berpihak pada dari kelompok dan agama mana yang harus dipilih. Itu sesungguhnya mencerminkan, bahwa politik identitas itu sulit untuk di hentikan—tetapi paling tidak bisa dilakukan dengan (1) cara mematangkan kecerdasan masyarakat tentang demokrasi. (2) Pendidikan politik terus harus di upayakan sebagai bagian dari kerja-kerja demokrasi. (3) Menghentikan polemik yang tak mendidik untuk masyarakat terkait isu-isu politik agama.
Oleh karena itu, yang sangat berbahaya dalam demokrasi ketika agama dijadikan pembenaran atas “keculasan kekuasaan atas nama demokrasi”. Kenapa agama selalu menjadi centra point dalam melihat politik identitas, kenapa bukan klien yang lain. Karena agama sangat berpotensi menggiring para pengikutnya untuk menentukan pilihan atas nama Tuhan. Ini yang berbahaya, sementara kontekstasi politik itu hanya sarana untuk menciptakan tatanan kehidupan sosial dengan perangkat undang-undang agar tercipta ketertiban masyarakat.
Dan Indonesia pasca reformasi 98 hingga saat ini terus berbenah diri dalam menemukan demokrasi yang substantif yakni suatu demokrasi yang benar-benar punya keberpihakan kepada rakyatnya, bukan berpihak pada kelompok tertentu. Dan 2024 adalah momentum terbaik untuk menemukan itu.
“Bila pemerintah berbohong kepada rakyatnya, itu politik,Tetapi apabila rakyat yang berbohong kepada pemerintah, itu kejahatan” (Bill Muray)
( OKSON/***)