Connect with us

Hi, what are you looking for?

OKSON.CO.IDOKSON.CO.ID

BERITA

Dari Logico-Philoshopihicus ke Philoshophical Investigations

( bagian akhir (4) tulisan )

Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi
_________________________

Dan sebagai suatu tafsiran, hal ini tentu akan selalu berbeda dari waktu ke waktu, dari satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dan karena perbedaan radikal yang mungkin dimunculkan dari tafsiran tiap-tiap orang terhadap fakta dunia, terhadap what is the case, maka hal ini memang lebih baik dibiarkan dalam diam: “Apa yang tidak dapat kita bicarakan, kita harus membiarkannya dalam diam (What we cannot speak about we must pass over in silence).”

Pemikiran filsafat Wittgenstein II melahirkan aliran filsafat bahasa biasa (Ordinary Language Philosophy) dan postmodernisme kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris dan Amerika, serta memiliki pemikiran filsafat yang beraneka ragam.

Berdasarkan sejarah perkembangan linguistik pragmatik, pemikiran filsafat bahasa biasa inilah yang merupakan inspirasi dikembangkannya pragmatik. Setelah Wittgenstein-II bermunculan filsuf-filsuf bahasa biasa, seperti Gilbert Ryle, J.L Austin, P.F. Strawson, dan John Wisdom di Inggris, kemudian berkembang ke Amerika Serikat dengan tokoh-tokohnya, antara lain Max Black, John Searle, H.P. Grice, Norman Malcom, dan W.P. Alston (Poerwowidagdo, 1972:34).

Tokoh pragmatik Inggris juga filsuf bahasa menegaskan bahwa linguistik berkembang ke arah suatu bidang yang belum di kaji oleh kalangan linguis, yaitu disiplin yang menyangkut bentuk, arti, dan konteks (Leech, 1983:2). Perkembangan yang cukup radikal terjadi di Amerika sebagai reaksi terhadap konsep sintaksisme model Chomsky, yang mengembangkan seluruh ilmu linguistik—termasuk fonologi dan semantic, dianggap relevan dalam kerangka sintaktik. Reaksi yang keras muncul dari George Lakoff dan Robert Ross yang menegaskan bahwa kajian sintaktis tidak dipisahkan dengan pemakaian bahasa (Leech, 1983:2; Purwo, 1990:10; dan Wijana, 1996:4).Perkembangan pragmatik menemukan bentuknya tatkala John Searle mengembangkan Speech Act (1969) sehingga bidang ini merupakan suatu bidang baru dalam bidang kajian bahasa dalam hubungannya dengan penggunaannya dalam komunikasi kehidupan manusia.

Menolak teori, menawarkan pemahaman
Menurut Wittgenstein, ada beberapa pertanyaan yang tidak memiliki jawaban ilmiah (scientific answers), bukan karena sangat mendalam dan misteri yang tak dapat dijangkau, tetapi karena ia bukan pertanyaan ilmiah (non-scientific questions). Pertanyaan tentang cinta, seni, sejarah, kebudayaan, musik merupakan pertanyaan yang terkait dengan upaya memahami diri secara lebih baik. Filsafat baginya bukan sebuah teori, melainkan sebuah kegiatan. Filsafat bukan mengusahakan kebenaran ilmiah (scientific truth), tetapi kejelasan konseptual (conceptual clarity).

Bagi Wittgenstein, perbedaan antara ilmu (science) dan filsafat (philosophy) terletak pada perbedaan keduanya dalam bentuk pemahaman: yang satu teoritis dan yang lain non-teoritis. Pemahaman ilmiah (scientific understanding) tampak melalui konstruksi dan pengujian atas hipotesis-hipotesis dan teori-teori sedang pemahaman filosofis (philosophical understanding) sepenuhnya non-teoritis, yaitu pemahaman yang saling berkaitan yang melibatkan sikap dan afeksi.

Pemahaman non-teoritis adalah bentuk pemahaman yang tampak ketika, misalnya, kita mengatakan bahwa kita memahami suatu puisi, irama musik, suasana hati seseorang, atau bahkan mengerti sebuah kalimat. Memahami sebuah kalimat juga membutuhkan partisipasi dengan bentuk kehidupan, “language game” dan konteks kalimat.

Pada konteks filsafat, fenomena paling menjadi sorotan mengenai Hal Satu (The One) dan Hal Banyak (The Many ). Para filsuf yang menekankan kesatuan realitas bertolak dari Hal Satu dinamakan Monisme sedang Pluralisme menganggap, ada lebih dari dua prinsip asli sebagai suatu hakikat (Edwards P, 1967: 363-364). Bakker mengibaratkan monisme dengan istilah “bubur” sedang pluralisme dengan “pasir”. Baik monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistik maupun materialistik.

Monisme mutlak menyusutkan sedapat mungkin segala kegandaan dan kemacam-ragaman, sehingga hanya tinggal satu realitas tunggal—entah materi atau roh. Sebaliknya pluralisme mutlak menghapus sedapat mungkin segala kesatuan dan keseragaman, sehingga hanya tinggal kejamakan mutlak, yaitu pecahan, entah pecahan materi atau titik-titik rohani. Namun baik monisme mutlak maupun pluralisme mutlak mustahil dipertahankan sehingga yang ada hanya monisme lunak dan pluralisme lunak atau tendensi monistik dan pluralistik. Monisme lunak menganggap hanya satu pengada, entah materi atau roh yang meliputi keseluruhan kenyataan. Segala bentuk monisme menekankan kesatuan dalam keanekaan.

Sebaliknya plurlisme lunak menganggap kenyataan itu jamak dan beraneka ragam yang terdiri dari unit-unit yang serba otonom dan tanpa hubungan intrinsik. Pandangan Platon tentang Hal Satu dan Hal Banyak upayanya untuk merumuskan kenyataan atau realitas, yakni hal ada (being) dan hal menjadi (becoming). Tujuan utamanya untuk mendukung kebenaran pengetahuan—kebenaran pengetahuan bagi Platon hanya ditemukan dalam dunia ide, yaitu dunia yang bersifat tetap, satu dan tak terbagi—-sebagai keterkaitan yang erat antara metafisika dengan epistemology, antara realitas dengan pengetahuan, antara kenyataan dengan kebenaran. Konsepsi tentang Hal Satu oleh Plotinus—mengembangkan ajaran Platon dalam rangka mendukung pandangannya tentang adanya hierarki dalam realitas dan hieraki tertinggi—muara seluruh kenyataan dinamakan To Hen—sebagai puncak kesatuan dari segala yang ada (Sontag, 1970: 32).

To hen atau The One dalam filsafat Plotinus mengacu pada gagasan mengenai Tuhan. The one adalah kebaikan yang merupakan tujuan hidup manusia. The one adalah Yang Esa, yang segala sesuatu ikut ambil bagian. Problem the one dan the many adalah kategori problem metafisika. Kedua tahapan pemikiran filsafat Wittgenstein dikaitkan dengan problem The One dan The Many, terlihat kecenderungan bahwa pandangan Wittgenstein secara keseluruhan memihak pada the Many atau Pluralisme Lunak—meskipun faktor The One dalam Wittgenstein I cukup mendapat perhatian yang besar dalam konteks bahasa ideal. Wittgenstein II dengan konsep language games memihak pada pluralisme lunak, karena keberagamaan dan perbedaan dipandang sebagai esensi.

Maka pengetahuan melalui bahasa adalah sumber penjelasan atas fakta, realme, obyek-obyek sengketa dalam pengetahuan manusia. Itulah sedikit cara filsafat mengungkap kejadian melalui bahasa.

Wassalam. ( OKSON/***)

 

Berita terkait

BERITA

Penulis :    Dr Yahya MA Antropolog UNHAS  OKSON, LUWU TIMUR,-  Opini saya “Tanam Merica di Hutan Lindung: Siap-siap Korbankan Masa Depan untuk Keuntungan...

BERITA

Oleh : Saifuddin Direktur Eksekutif LKiS Penulis Buku Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, dan Elegi Demokrasi ____________________ OKSON, LUWU TIMUR,- Bahwa demokrasi memang mahal...

BERITA

Penulis : Saifuddin Direktur Eksekutif LKiS “Bahwa demokrasi lahir sehubungan dengan surutnya nilai dalam kehidupan masyarakat masa lalu, di sana ada pembunuhan dan kriminalisasi...

BERITA

Oleh : Saifuddin Direktur Eksekutif LKiS OKSON, LUWU TIMUR,- Sebuah ungkapan yang terus menggelayut dalam benak dan pikiran kita tentang “Jas Merah” jangan lupakan...