Oleh : Saifuddin
Direktur Ekskeutif LKiS
Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi
_________________________
OKSON, – Sebuah kalimat pembuka dalam tulisan tersebut dari seorang tokoh demokrasi dunia Abraham Lincoln berkata “Surat suara, lebih kuat dari peluru”. Peristiwa politik yang demokratis di berbagai negara kita sering saksikan berbagai dinamika yang membersamainya. Bahkan 100 tahun setelah kemerdekaan Amerika baru mendorong isu-isu demokrasi di dalam proses politiknya.
Demokrasi adalah sebuah proses yang dinamika dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga proses berdemokrasi memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada varian-varian yang perlu dipenuhi untuk bisa memastikan apakah sebuah proses politik itu berjalan demokrasi atau tidak. Demokrasi yang berkilah atas nama rakyat, pada prosesnya selalu saja menjumpai kebuntuan. Proses politik seringkali tak sejalan dengan kondisi masyarakat.
Sebab, secara filosofis demokrasi itu tidak lagi bersifat sakral tetapi sudah lebih pada sifat provan (sesuai realitas), walau memang harus disadari bahwa praktek politik tak selamanya sejalan dengan tujuan demokrasi itu sendiri. Pada fakta-fakta empirik kadang tergerus dengan fakta-fakta prosedural, artinya proses politik selalu berjalan sesuai dengan mekanisme undang-undang yang ada, tetapi out putnya kadang berseberangan dengan undang-undang itu sendiri.
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang gamang mengingat begitu perlunya sebuah tatanan yang demokratis. Edukasi politik (Political education) adalah menjadi keharusan bagi perkembangan kehidupan berdemokrasi yang baik. Bisa dibayangkan kalau kemudian hajatan lima tahunan yang disebut Pemilu lalu tidak memberikan pendidikan politik yang baik, pada akhirnya akan mengukur tingkat keberhasilan suatu demokrasi.
Karena untuk mengukur tingkat keberhasilan berdemokrasi sangatlah ditentukan oleh kecerdasan berpolitik dan tingkat partisipasi masyarakat dalam sebuah hajatan politik. Dan sejarah politik Indonesia sejak Pemilu pertama tahun 1955, tingkat partisipasi begitu tinggi, hal ini disebabkan karena Pemilu adalah hal yang baru bagi masyarakat Indonesia saat itu, sehingga mereka (rakyat), tanpa paksaan, mobilisasi, janji-janji, mahar, sembako, bansos apalagi serangan fajar. Sehingga dapat dipastikan demokrasi lahir karena the political Insting dan political education.
Namun diera perkembangan politik modern, pendidikan politikpun hanya sampai pada tata cara pencoblosan dibilik suara. Kotak suara menjadi tempat penampungan suara. Seakan kotak suara sebagai pelepas dahaga bagi masyarakat pemilih. Disisi yang lain kotak hitam harus dimaknai sebagai tempat “dimana proses transaksional” terjadi. Bahkan nyaris kotak hitam menjadi penentu kemenangan seseorang dalam kontekstasi politik, sebab kotak suara tergantikan saat perhitungan suara dan mati lampu, belum lagi dengan berbagai variable prosudural seperti C1. Hologram dan Plano yang dianggap sebagai “suara Tuhan” untuk menentukan kemenangan seseorang dalam kontekstasi politik. Dan belum lagi adanya kecurangan ditingkat saksi, KPPS, penukaran kotak suara, belum lagi alasan tehnis lainnya. Termasuk server siRekap yang bermasalah dan terus di bongkar kecurangan dan kebohongan di baliknya.
Fenomena kotak hitam kelihatannya sulit diprediksi, banyak motif untuk melakukan itu, tidak ingin kalah, karena seteru politiknya adalah sebuah nohtah masa lalu. Ini memungkinkan potensi kecurangan kian dominan. Sebab kalah menjadi hinaan, dan menang menjadi sanjungan. Secara naluri tidak ada manusia yang digerakkan oleh hasrat kekuasaan mau dengan mudah menyerahkan kekalahan secara politik, sebab ini bukan soal kalah menang, tetapi ini soal kehormatan dan kejujuran dalam pemilu.
Nah, politik adalah menyangkut perkara trusting, regulasi, serta perumusan pola kebijakan yang populis. Persoalan demokrasi adalah soal-soal pencerdasan, kemampuan “agregasi”, serta responsibility. Tetapi kelihatannya politik kita terjebak pada “penyetoran suara”, lima menit dikotak suara menentukan lima tahun kedepan.
Kotak suara adalah sarana proses berpolitik rakyat, sementara kotak hitam adalah sebuah perilaku politik yang menghalalkan segala cara.
Dalam perspektif yang lain “kotak hitam” selalu menjadi alat penentu bagi sebuah kecelakaan pesawat. Butuh analisa mendalam untuk mengetahui secara pasti tentang kecelakaan itu.
Namun dalam perspektif politik tentu sangat berbeda, ada yang berpendapat “kotak hitam” adalah sesuatu yang sekret (sakral) yang bisa menentukan posisi hidup mati seseorang terhadap rahasia negara misalnya.
Karenanya, dalam kontekstasi politik kewaspadaan terhadap munculnya kotak hitam perlu pengawasan serius dari semua elemen termasuk penyelenggara Pemilu KPU, Panwas, Kepolisian, demi menjaga kualitas demokrasi yang bermartabat. Sebab politik kita kadang diwarnai sederet peristiwa tentang kotak suara. Pemilu 2024 adalah tragedi heroik dalam pemilu yang culas dan curang.
Bagaimana pun kotak suara adalah esensi dari penjagaan suara rakyat atas pilihan politiknya.
Namun yang sangat berbahaya adalah, munculnya istilah kotak hitam dalam Pemilu (Diksi Penulis), sebab ada dua perspektif tentang makna”kotak Hitam”, kotak adalah sebuah bentuk kebendaan yang bersegi empat, sementara Hitam bisa diartikan sebagai warna, tetapi dalam makna filosofis, hitam bersimbolkan kegelapan. Kegelapan identik dengan kecurangan. Sehingga proses Pemilu yang diharapkan jujur dan adil justru jatuh dalam kegelapan (kecurangan). Makna kecurangan pun haruslah dipahami secara mendalam, bukan kecurangan terhadap siapa yang berkontekstasi, tetapi “curang” adalah perilaku yang mengkhianati kejujuran dan hati nurani rakyat.
Oleh karena itu, pemilu selalu bersandingan antara kata jujur dan adil. Dalam bahasa politik, kejujuran, keadilan, keterbukaan itu penting, tetapi perilaku politiklah yang kadang merusak kejujuran demi sebuah kemenangan. Sehingga warna demokrasi pada Pemilu 2024 seakan diwarnai berbagai intrik kecurangan, baik itu personal caleg, maupun kontekstasi proses Pilpres itu terjadi.
Dialog pun dalam berbagai media, tak lagi melahirkan edukasi politik yang baik, sebab tidak ada lagi “pencerahan” serta adu gagasan yang orisional yang coba ditawarkan kepada rakyat, justru yang muncul adalah fitnah, tuduhan, kriminalisasi, serta saling menyerang pada privasi-persona.
Politik gagasan terabaikan.
Kegelapan dalam berdemokrasi begitu menghipnotis pikiran publik dengan cara memamerkan gegap gempita tentang narasi kalah maupun yang menang, hingga pada protes sosial yang menelan korban. Kekerasan sulit terhindarkan, people power menjelma menjadi gerakan sosial yang sangat brutal kembali dipertontonkan. Pertanyaannya, salah siapakah? Jawabannya pemeringtah harus mampu menggeledah dirinya, terutama kepada negara setidaknya dapat memberikan rasa aman kepada setiap warganegaranya (Baca ; Abraham Maslow). Yakni adanya kebutuhan rasa aman.
Tetapi faktanya demokrasi kian runyam, sebab telah membelah posisi warga negara hanya karena beda pilihan. Padahal demokrasi adalah mengajarkan perbedaan tetapi tak harus menghadirkan kekerasan. Tetapi lagi-lagi jawabannya karena fenomena kotak hitam itu menjadi misterium.
Kalau kita membaca tesis Alvin Toffler (Pergeseran Kekuasaan), seharusnya ada bagian-bagian yang bergeser, tetapi bukan rakyatnya harus bergeser, tetapi kekuasaan itu harus bergeser untuk memenuhi hajat orang banyak, bukan segelintir orang. Sebab, pergeseran kekuasaan adalah salah satu bentuk untuk menjawab kebutuhan warga negaranya. Bukan sebaliknya pergeseran kekuasaan itu adalah menghadapkan warga negara dengan kekerasan dalam politik.
Dan sangat berbeda dengan pikiran Dom Helder Camara (Spiral Kekerasan), yang menyebutkan bahwa untuk menyudahi kekerasan, maka kekerasan harus dipantik dengan kekerasan. Dalam pendekatan logika pun menolaknya. Dan pikiran itu harus diterima sesuai konteks pikiran itu dicetuskan, tentu sesuai pergolakan dewan gererja saat itu.
Sehingga sangat jauh berbeda pendekatan maknawiah dari Lukmanul Hakim, yang mengatakan, kalau anda merasa benar, bahwa kekerasan dapat diselesaikan dengan kekerasan, maka cobalah mengambil api, lalu padamkan api-api yang lain, tentu tidak akan mungkin padam tetapi api semakin membesar.
Artinya, bahwa kekerasan hanya mungkin diselesaiakn dengan kearifan, laksana air yang mampu memadamkan api.
Oleh sebab itu, demokrasi haruslah tetap dijaga dari penjarahan, kekerasan, represifisme, agar politik tidak terjebak dalam kubangan kotam hitam yang menyesatkan.
_________________